Rabu, 09 Maret 2011

Keberadaan Perusahaan Rokok di Indonesia

Keberadaan Perusahaan Rokok di Indonesia

Antara Kepentingan, Tekanan Ekonomi, dan Tanggung jawab Sosial


Pertumbuhan pasar yang semakin hari semakin bersaing telah menjadikan kekayaan materil dan keuntungan komersil sebagai tujuan dasar dari sebuah perusahaan. Pendekatan ekonomi menjadikan perusahaan semakin agresif dan tidak mengenal waktu istirahat untuk berkompetisi memperluas jaringan usahanya. Pada jaman saat ini tidak usah diragukan lagi bahwa ekonomi merupakan motivator yang sangat kuat dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Konflik-konflik inilah yang menimbulkan dilema antara pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai etis yang berlaku dan tekanan ekonomi demi keberlangsungan perusahaan.


Seorang idealis yang berprinsip kepentingan moral adalah suatu yang penting dapat ditaklukan semata-mata karena alasan ekonomi dan menolak semua prinsipnya mengenai tanggung jawab sosial. Tetapi banyak pula yang perusahaan yang keuangannya sudah solid, mengalokasikan keuntungannya atas nama tanggung jawab sosial dengan menyumbangkan dana kepada karyawan ataupun masyarakat. Sebuah pertanyaan muncul dikala pertimbangan ekonomi untuk mencari keuntungan komersil menjadi keputusan yang sangat mendasar dibandingkan pertimbangan moral dan tanggung jawab sosial.


Kini masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.


Sebagai negara negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pangsa bisnis yang besar. Selain itu sumber daya alamnya juga melimpah dan cocok untuk mengembangkan bisnis di berbagai bidang. Hal ini membuat berbagai perusahaan tumbuh pesat di Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan rokok. Banyak perusahaan rokok skala kecil atau besar yang berkembang di Indonesia. Namun keberadaan perusahaan rokok ini menjadi dilematis karena menimbulkan dampak yang positif dan negatif.


I. Kepentingan dan Tekanan Ekonomi
Keberadaan perusahaan rokok skala besar maupun kecil di Indonesia memang menimbulakan banyak kontroversi. Di satu sisi, keberadaan perusahaan rokok memberikan keuntungan secara finansial bagi negara, dan banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, keberadaan perusahaan rokok dengan produk dan pemasarannya meningkatkan konsumsi masyarakat Indonesia akan rokok dan menurunkan kualitas hidup atau merusak kesehatan masyarakat. Karena kita tahu, rokok mengandung banyak zat bersifat racun bagi tubuh manusia.


Paling tidak perusahaan rokok di Indonesia memiliki keterkaitan dengan tiga departemen yang sejauh ini memiliki kewenangan mengeluarkan segenap regulasi kepada perusahaan rokok di Indonesia. Pertama, Departemen Keuangan yang sangat berkepentingan atas pendapatan negara dari hasil cukai rokok, sehingga kebijakan apapun yang mempengaruhi sektor anggaran negara Departemen keuangan selalu terlibat.


Kedua, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) karena memiliki kepentingan agar industri rokok di Indonesia dapat terus berkembang, Deperindag beranggapan bahwa selain padat modal industri rokok juga padat tenaga kerja. Masalah tenaga kerja juga mempunyai keterkaitan dengan departemen tenaga kerja karena ketika terjadi pemogokan besar-besaran tenaga kerja perusahaan rokok, maka dengan segera pemerintah melalui departemen tenaga kerja ikut sibuk untuk menahan agar eskalasi kasus itu tidak semakin membesar.


Ketiga, Departemen Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Makanan dan Minuman (Ditjen POM) yang memiliki kewenangan untuk mengawasi peredaran produk rokok di masyarakat, Ditjen POM pula yang ikut aktif dalam pengaturan iklan tentang produk rokok di media massa. Apapun kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kinerja industri rokok, pemerintahpun sadar bahwa industri rokok merupakan salah satu pemasukan yang besar bagi pendapatan negara industri rokok, namun sambil meminimalisir ekspalitas rokok bagi kesehatan.


Dalam kabar UGM Online Edisi 84/V/21 Juli 2009, dituliskan bahwa masyarakat Indonesia mengkonsumsi rokok 178,3 miliar batang rokok per tahun. Angka ini merupakan angka tertinggi kelima di dunia, setelah Cina (1297,3 miliar batang), AS (462,5 miliar batang), Rusia (375 miliar batang), dan Jepang (299,1 miliar batang). Sebenarnya pemerintah sudah memberikan banyak aturan yang ketat untuk menekan konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Seperti misalnya dalam hal komunikasi periklanan. Dalam dunia periklanan ada tiga produk yang selalu menimbulkan kontroversi, yaitu: alkohol, rokok dan kondom. Karena itu dibuatlah peraturan-peraturan yang membatasi gerak periklanan ketiga produk tersebut. Bahkan, WHO organisasi kesehatan dunia yang bernaung dibawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa menghimbau supaya perusahaan-perusahaan tidak lagi memanfaatkan dana dari produsen-produsen rokok bagi keperluan kegiatan sponsorship. (Media Indonesia, 14 Juli 1996).


Pemerintah Indonesia pun membuat sejumlah rambu-rambu atau aturan-aturan yang membatasi ruang gerak iklan rokok di media massa, walaupun peraturan-peraturan itu dibuat dengan "setengah hati". Karena di satu sisi peraturan itu dibuat untuk membatasi ruang gerak industri rokok dengan alasan kesehatan, tapi di sisi lain pemerintah juga mengharapkan industri ini sebagai sumber pemasukan negara di saat keadaan ekonomi Indonesia kurang menguntungkan. Hal ini mungkin sangat bisa dimengerti karena penerimaan negara dari cukai rokok pada tahun 2000 mencapai angka sebesar 10,16 triliun rupiah -belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh). Bahkan pada tahun 2006 mencapai angka sekitar 40 triliun rupiah.(www.depkeu.go.id)


Namun tetap saja para produsen rokok dan biro iklan akhirnya berusaha mencari celah-celah dari peraturan yang ada itu dan dibutuhkan kreativitas yang tinggi untuk mengatasi hal tersebut agar asap pabrik tetap mengepul. Dengan proses kreatif yang baik maka iklan rokok dapat ditampilkan tanpa menyalahi peraturan-peraturan sehingga masyarakat luas dan pemerintahpun dapat tersenyum simpul serta biro iklan dapat tetap bernapas lega tanpa kuatir disomasi oleh berbagai pihak. Menurut AC Neilsen sampai tahun 1999 lalu belanja iklan produk rokok di media sebesar 313,1 miliar rupiah, bahkan sampai bulan Maret 2000 lalu saja sudah menghabiskan dana sebesar 114.9 miliar rupiah. Suatu jumlah yang menggiurkan untuk biro iklan merupakan tantangan bagi biro iklan untuk memacu kreativitas memadukan billing dan peraturan pemerintah.


Bahkan dalam peraturan pemerintah nomor 81 tahun 1999 dengan sangat jelas ditulis pada salah satu pasal, yaitu pasal 18 yang pada intinya melarang iklan produk rokok, baik untuk media cetak maupun media luar ruang menggambarkan (dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya) rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok. Sedangkan untuk pembagian sample (sampling) dijelaskan pada pasal 21 yang berbunyi : “Setiap orang yang memproduksi rokok dan atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.”


Bukan hanya itu saja, pemerintahpun akhirnya mengeluarkan peraturan nomor 38 tahun 2000 sebagai perubahan dari peraturan sebelumnya yang menambahkan bahwa penayangan iklan rokok di media elektronik (televisi/radio) dapat dilakukan pada pukul 21:30 sampai pukul 05:00 waktu setempat. Tidak tanggung-tanggung, tiga lembaga sekaligus ikut memantau pelanggaran pelanggaran iklan rokok yang telah dilakukan oleh perusahaan rokok yaitu YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Lembaga Riset AC Nielsen, dan POM (Pengawasan Obat dan Makanan).


Dengan tekanan yang tinggi seperti itu, biro iklan membantu perusahaan rokok untuk memasarkan produknya dengan berbagai cara. Tanggung jawab secara moral biro iklan kepada masyarakat pun terkadang terabaikan agar mereka dapat bertahan di tengah persaingan ekonomi yang ketat. Selain tekanan ekonomi dalam negeri, kondisi perekonomian dunia yang kurang stabil juga semakin menekan keberadaan biro iklan. Mereka tetap saja membuat masyarakat Indonesia semakin konsumtif dengan iklan mereka. Meskipun terkadang dilakukan strategi pemasaran dalam bentuk kegiatan sosial kepada masyarakat namun tetap saja tujuannya untuk menguatkan pemasaran dan posisi produk di pihak konsumen.


Hampir semua iklan produk rokok dengan bahasa-bahasa simboliknya mengajak audience untuk bermimpi, melayang dan membayangkan suatu kesenangan atau kenikmatan yang pada akhirnya mau mengkonsumsi produk yang ditawarkan seperti iklan rokok Gudang Garam Surya dengan slogan citra ekslusifnya atau iklan produk rokok S.T. Dupont dengan slogannya Cool, Calm and Confidence. Hal itu dilakukan berulang-ulang dengan media yang benar-benar menyentuh masyarakat yaitu media luar ruang yang memenuhi hampir setiap sudut kota sehingga mengaburkan antara batas-batas seni dan kehidupan sehari-hari sehingga ada beberapa hal yang perlu ditinjau, seperti yang ditulis Mike Featherstone dalam bukunya Postmodernisme dan Budaya Konsumen (Maret, 2001, hal. 48 - 62) yang intinya sebagai berikut :
1. Hal yang terus menerus ada dalam budaya konsumen untuk unsur-unsur tradisi kebuasan pra-industri yaitu tradisi penyelesaian dengan cara pemghambur-hamburan dan penghancuran kelebihan barang atau produk yang dijalankan melalui pemberian hadiah, event-event yang konsumtif serta konsumsi yang sangat menyolok serta menjadikan pertumbuhan ekonomi yang penuh untuk memunculkan pertumbuhan yang tanpa henti.
2. Transformasi dan penggantian dari kebuasan tersebut menjadi image media, desain, periklanan, rock-video, sinema.
3. Hal yang terus menerus ada serta transformasi tersebut dalam tempat-tempat konsumsi tertentu seperti tempat berlibur, stadion olah raga, taman-taman utama, department store dan pusat-pusat perbelanjaan.
4. Penggantian unsur-unsur tradisi kebuasan pra-industri dan penyatuannya ke dalam konsumsi yang mencolok yang dilakukan oleh negara dan berbagai perusahaan, baik dalam bentuk tontonan untuk masyarakat umum yang bersifat 'prestise' dan/atau pun\ manajemen dan administrasi kelas tinggi yang sifatnya istimewa.


Baru-baru ini, adanya kepentingan khusus dan tekanan ekonomi juga disinyalir muncul dalam politik pemerintahan pada kasus penghilangan ayat undang-undang yang mengatur tentang tembakau yaitu Undang-Undang Kesehatan pasal 113 ayat 2 "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat sekelilingnya.". Hal tersebut diketahui karena pada bagian penjelasan pasal 113 masih terdiri dari tiga ayat termasuk penjelasan tentang ayat 2, namun ayat 2 nya sendiri tidak ada dalam dokumen undang-undang yang akan disahkan. Tentu saja perhatian tentang siapa dalang dibalik kasus tersebut mengarah pada kalangan industri rokok dengan kekuatan ekonomi yang besar melalui tangan kanan mereka di ranah politik karena undang-undang itu kemungkinan besar akan sangat mengganggu bisnis mereka jika disahkan.






II. Etika danTanggung jawab Sosial Perusahaan
Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok perusahaan dan media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati. Dalam menentukan kualitas etika yang ditegakkan, dilema moral atau pilihan moral selalu mempunyai masalah yang tidak begitu saja diselesaikan secara simplistik. Pilihan-pilihan etis harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis (AG. Eka Wenats Wuryanta, 2007)


Etika dalam level tertentu adalah etika dalam profesi. Ketika berada dalam konteks situasional selalu juga memperhatikan profesionalisme. Nilai etis dalam konteks profesionalisme akan menghasilkan kode etik. Arahan etika dalam kode etik didasarkan dalam dua dasar utama, yaitu prinsip tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama. Pola dua dasar utama ini akan berbenturan dengan nilai atau prinsip nilai yang berkembang sampai sekarang. Mana yang harus didahulukan etika personal atau etika perusahaan, mana yang harus diutamakan kepentingan publik atau kepentingan individual.


Dilema-dilema etis dan pengembangan etika perusahaan yang muncul sekarang juga serta merta menumbuhkan masalah sejauh mana akhirnya kita harus membuat aturan dan norma etika bisa dilakukan atau dilaksanakan dalam praktek hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, diperlukan juga lembaga-lembaga publik yang mengontrol, mengawasi dan menjadi ”anjing penjaga” sejauh mana etika perusahaan dapat dieksekusi secara bersama-sama.


Tentunya masalah pendidikan juga menjadi penting dalam usaha membuat aturan atau norma etika bisa dijalankan dan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari.
Dalam hal pemasaran rokok, terdapat empat permasalahan etika yang menjadi dilematis:
1. Etika humas adalah etika yang mengatur perilaku humas yang bisa bermuka dua. Di satu sisi, PR berfungsi sebagai institusi yang melayani kepentingan publik dan di sisi lain, PR berfungsi sebagai mata dan mulut perusahaan yang terkait. Keduanya mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua kepentingan tersebut juga bisa bertabrakan satu sama lain. Masalahnya adalah bagaimana praktisi PR bisa menempatkan diri dalam konteks kepentingan yang berbeda tersebut.
2. Etika periklanan adalah etika yang mengatur profesionalis periklanan. Ada beberapa isu yang muncul dalam kerangka etika periklanan, yaitu sejauh mana iklan bisa dipertanggung jawabkan ketika produk yang ditawarkan adalah produk yang berbahaya, sejauh mana praktisi periklanan mampu menjadi ”pengarah tersembunyi” yang dimungkinkan dalam dunia periklanan, bagaimana pertanggung jawaban etis pada konteks periklanan yang mendorong labelisasi atau stereotip yang muncul dalam dunia periklanan, bagaimana praktisi periklanan mampu melaksanakan dan konsisten dalam melaksanakan privasi konsumen, isu lainnya adalah isu dalam periklanan yang mampu ”menodong” konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai pilihan selain tindakan mengkonsumsi, isu lainnya adalah iklan yang mengelabui konsumen.
3. Etika konsumen lebih mau menyatakan bahwa konsumen punya hak untuk mendapatkan kompensasi yang memadai dalam seluruh hasil komunikasi atau media massa modern.
4. Etika bisnis, yang lebih menekankan pada hal prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran dalam persaingan usaha agar tetap dinamis dan berjalan secara fair atau sehat.


Dilema-dilema etis dalam perusahaan modern semakin juga diperumit dengan masalah tekanan ekonomi yang memang menjadi arahan pokok etika perusahaan yang ada sekarang. Perkembangan etika aplikatif tentunya selalu harus memperhatikan aspek komunitas atau kepentingan publik. Akhirnya tidak mengherankan apabila sekarang berkembang model tanggung jawab perusahaan.


Tanggung jawab sosial dunia bisnis tidak saja berorientasi pada komitmen sosial yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan, belas kasihan, keterpanggilan religi atau keterpangilan moral, dan semacamnya, tetapi menjadi kewajiban yang sepantasnya dilaksanakan oleh para pelaku bisnis dalam ikut serta mengatasi permasalahan sosial yang menimpa masyarakat. Fenomena inilah yang menyulut wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR). Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan bisnis), melainkan juga tanggung jawab sosial termasuk lingkungan.


Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategicstakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. (Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari "A Promise of Gold Rating : Sustainable CSR" Tanggal 23 Agustus 2006, diambil dari www.menlh.go.id)


Bahkan untuk menggalakkan program tanggung jawab sosial perusahaan ini pemerintah menyusun peraturan melalui undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.


Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan pertanggung jawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen pelaksanaannya.


Menurut Muhammad Arief Effendi (2007) dalam muhariefeffendi.wordpress.com, ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).


Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.


Perusahaan rokok pun tidak ikut ketinggalan dalam program CSR-nya. Karena ini menjadi jalan pemasaran dan pencitraan mereka di masyarakat karena semakin ketatnya regulasi periklanan rokok. Hal tersebut dapat kita lihat pada program sosial PT Sampoerna dengan Sampoerna Foundation-nya yang memberikan beasiswa kepada siswa siswi berprestasi mapun Djarum Bakti Lingkungan yang mendukung program pelestarian lingkungan. Namun yang agak ironis ketika melihat dukungan perusahaan rokok tersebut dalam hal pembinaan olahraga. Beberapa perusahaan rokok besar membangun fasilitas olahraga dengan alasan meningkatkan pembinaan atlet nasional sejak dini, bahkan ada yang mendukung liga super olahraga sepak bola. Secara logis, tujuan utama olahraga adalah kesehatan, namun mengapa justru pendonor dana terbesar olahraga di negara ini adalah perusahaan rokok yang produknya sangat tidak baik untuk kesehatan. Banyak terjadi kontroversi dalam hal tersebut ketika CSR dilakukan oleh perusahaan rokok.


Beberapa tahun belakangan telah tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda. Crane, dkk (2008) menyatakan bahwa salah satu substansi yang diterima secara bulat adalah bahwa CSR itu berarti melakukan internalisasi eksternalitas. Eksternalitas adalah dampak positif dan negatif aktivitas perusahaan yang ditanggung oleh pihak lain namun tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan perusahaan, sehingga tidak tercermin dalam harga produk. Berabagai pakar CSR tidak bisa menerima adanya perusahaan yang mengaku ber-CSR namun tidak melakukan manajemen yang optimal atas eksternalitas. Konsekuensinya, apabila peusahaan hendak dianggap berkinerja sosial yang tinggi, maka ia berturut-turut harus memastikan tiga hal: dampak negatifnya telah ditekan hingga seminimal mungkin, dampak residual (dampak negatif yang masih tersisa setelah ditekan) telah dikompensasi dengan proporsional, dan dampak positifnya telah dikelola semaksimal mungkin.


Dengan pengertian yang demikian, sangatlah sulit buat siapapun untuk menyatakan bahwa industri rokok bisa dianggap memiliki kinerja CSR yang baik. Pengertian substansial ini belum tampak dalam “Indah Tapi Berbisa”. Penulisnya menyamakan CSR dengan sponsorship; sosiolog Imam Prasodjo dikutip menyamakan CSR dengan “...memberikan timbal balik bagi masyarakat”, Mary Assunta dari SEATCA menyatakan bahwa CSR adalah jalan bagi industri rokok untuk membangun citra positif; dan kutipan atas pernyataan Janoe Arijanto dari Dentsu Straat memberi kesan bahwa CSR itu “Ujung-ujungnya cuma duit.” (Koran Tempo edisi 27/11/08)


Jika sebuah perusahaan rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah perusahaan yang bertanggung jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan internalisasi eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius melindungi bukan perokok. Ini menunjukkan bahwa industri rokok tak mungkin mengkompensasi eksternalitas negatifnya, alias tak mungkin ber-CSR.


Bahkan menurut Jalal (2006) dalam www.csrindonesia.com, ketika kita melihat bagaimana upaya perusahaan rokok untuk membagi keuntungannya pada masyarakat luas melalui CSR, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan mengkompensasi dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam kegiatan amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.








III. Kesimpulan
Keberadaan perusahaan rokok di Indonesia yang berkembang pesat memberikan dampak secara positif dan negatif. Di satu sisi, keberadaan perusahaan rokok memberikan keuntungan secara financial bagi negara, dan banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, keberadaan perusahaan rokok dengan produk dan pemasarannya meningkatkan konsumsi masyarakat Indonesia akan rokok dan menurunkan kualitas hidup atau merusak kesehatan masyarakat. Karena kita tahu, rokok mengandung banyak zat bersifat racun bagi tubuh manusia.


Perkembangan industri rokok di Indonesia pun menjadi kontroversial karena maraknya kampanye global tentang anti rokok. Namun Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang memiliki industri rokok terbesar di dunia. Masyarakatnya pun menjadi target pasar yang potensial bagi produsen rokok. Bahkan keberadaan industri rokok ini memberikan pemasukan pendapatan negara yang sangat besar. Kepentingan dan tekanan ekonomi pun muncul disini dan menjadi masalah yang dilematis untuk dipecahkan.
Dengan tekanan ekonomi yang tinggi, biro iklan membantu perusahaan rokok untuk memasarkan produknya dengan berbagai cara. Tanggung jawab secara moral biro iklan kepada masyarakat pun terkadang terabaikan agar mereka dapat bertahan di tengah persaingan ekonomi yang ketat. Selain tekanan ekonomi dalam negeri, kondisi perekonomian dunia yang kurang stabil juga semakin menekan keberadaan biro iklan.


Pemerintah pun berupaya untuk mengurangi aktivitas pemasaran industri rokok di Indonesia melalui peraturan-peraturan ketat bagi regulasi periklanan khususnya untuk produk rokok. Namun hasil nya belum konkrit karena adanya dilema antara faktor ekonomi dan tanggung jawab sosial pemerintah kepada warganya. Pemerintah hanya bisa menengahi, dengan mendukung program anti rokok namun tetap menerima keuntungan dari cukai rokok. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Sosial Responsibility (CSR). CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan.


CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat


Profitabilitas maupun tanggung jawab sosial, keduanya merupakan tujuan yang hendak dicapai perusahaan. Sekalipun sangat disadari bahwa kedua hal ini sebenarnya terkadang saling bertentangan. Para pelaku bisnis tentunya berharap perusahaan dapat meningkatkan profitabilitas, namun hal ini tentunya akan menjadi konflik kepentingan bagi stakeholder lainnya yang menginginkan optimalisasi keberadaan perusahaan, terutama yang terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Dengan kata lain, selalu terdapat pertentangan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab sosial.


diolah dari berbagai macam sumber. 
sumber :   http://danisetiawanku.blogspot.com/2010/01/keberadaan-perusahaan-rokok-di.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar