Selasa, 31 Mei 2011

Hukum Ulayat

Kenapa dalam kasus-kasus segketa tanah hak ulayat yang dimiliki masyarakat adat selalu kalah dengan ketentuan hukum positif?

Pertama hukum yang ada di Indonesia itu kan menggunakan pembuktian hukum secara tertulis misalnya, sertifikan dan hal ini yang paling utama. Apabila ada orang yang mempunyai sertifikat maka secara seratus persen dia tidak akan diganggugat dan itu yang diakui oleh pemerintah. Sedangkan kalau masyarakat adat yang hanya memiliki atau mengklaim bahwa dia mempunyai tanah ulayat dan tidak bisa membuktikan, maka itu masih dalam pertanyaan.


Meskipun pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat tapi belum tentu pemerintah mengakui secara seratus persen bahwa tanah seluas tiga puluh ribu hektar milik masayarakat adat karena belum dibuktikan dan pembuktian itu yang mempunyai kekuatan seratus persen melalui perda.


Artinya, sejak dari awal keberadaan masayarakat adat beserta tanah yang dimiliki kedudukannya sangat lemah dimata pemerintah dan hukum positif?  


Ya, jadi klaim-klaim sejarah itu tidak secara otomatis diakui oleh pemerintah dan itulah yang sekarang ini sedang diadvokasikan oleh beberapa LSM. Maka akibatnya sengketa atau konflik tanah ulayak marak terjadi termasuk di wilayah-wilayah yang terdapat banyak masyarakat adat seperti halnya yang ada di Lampung.    Kalau konflik sudah terjadi maka secara umum sudah bisa dipastikan bahwa posisi masayarakat adat sangat lemah karena dalam penyelesaiannya hukum negara yang dipakai untuk menyelesaikannya. Sementara hukum negara tidak memberikan perlindungan atas klaim-klaim masyarakat adat beserta wilayah dan sejarah tanah yang ada hanya berdasarkan pada surat keputusan dari Menteri Kehutanan.


Dalam kondisi seperti ini dan untuk mencegah terjadinya konflik berkepanjangan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?


Kami di HUMA melihat peraturan perundang-undangan ini memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya konflik sehingga cara yang dilakukan adalah memperbaiki aturan itu sendiri. Sebab, peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi basis hukum pada tindakan-tindakan pemerintah dalam menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan hutan yang ditetapkan secara sepihak.


Karena ini adalah kasus kehutanan maka posisinya undang-undang kehutanan harus direvisi untuk menceagah kesalahan sebelumnya misalnya, soal penetapan kawasan hutan secara sepihak. Bayangkan saja luas wilayah daratan Indonesia yang mencapai 187 hektar, di mana 70 persennya itu ditetapkan oleh departemen kehutanan sebagai kawasan hutan jadi kekuasaan departemen keutanan sampai sekarang ini mencapai 137 juta hektar.


Jadi hampir dua pertiga daratan yang dimiliki oleh Indonesia yang diatur oleh undang-undang kehutanan sementara undang-undang agraria hanya mengatur 30 persen dan di dalam kawasan hutan itu tidak ada sertifikat hal milik karena yang berlaku UU kehutanan. 


UU kehutanan memberikan kewenangan kepada departemen kehutanan untuk menerbitkan ijin-ijin seperti HPH, HTI sementara UU agraria memberikan kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat hak milik, hak guna bangunan pada 30 persen. Maka dalam wilayah 137 juta hektar itu saat ini kurang lebih diseluruh propinsi ada sekitar dua pulu lima ribu desa yang wilayahnya ada dikawasan hutan.


Maka dua puluh lima ribu desa berada dikawasan hutan sebagian besar juga menklaim mempunyai ikatan sejarah dan religius atas tanah (masyarakat adat). Itu artinya tanah-tanah ulayat yang mereka klaim itu berada di kawasan hutan dan karena ini berada dikawasan hutan maka berlaku UU kehutanan.


Tapi disisi lain masyarakat adat mempunyai hukum sendiri yaitu hukum adat yang bertentangan dengan UU kehutanan dan inilah yang menjadi konflik. 

source :http://majalahforum.com/forum-utama.php?tid=201 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar